Bidang
- bidang tersebut pastilah harus ada tunas - tunas bangsa yang
berkompeten, berkualitas dan berintagritas tertinggi agar ide dan
pikiran - pikiran mereka dapat tercurahkan dan dapat dimanfaatkan untuk
perkembangan dan kemajuan suatu bidang dalam persaingan Globalisasi yang
sangat ketat ini. Pendidikan adalah akar dari keberhasilan suatu
Bangsa. Kemendikbud yang memliki wilayah dalam Bidang Pendidikan
pastilah akan beruhasa untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian kader -
kader Bangsa. Berbagai upaya dari Evaluasi, Reflesi dan Revisi pun
harus ditempuh yang akkhirnya muncullah kurikulum baru yang dinamakan "
Kurikulum 2013 ".
Setiap
hal yang baru pastilah ada yang pro dan Kontra, tidak terkecuali
Kurikulum yang dikeluarkan Kemdikbud yaitu Kurikulum 2013. banyak media
yang meliput berita - berita yang memuat pro dan kontra tentang
kurikulum 2013. Ini terjadi karena ada perbedaan cara pandang atau belum
memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi
dasar Kurikulum 2013
Secara
falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk
mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan
tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi
alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam
UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator
strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU
Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan
harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis
kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga
kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang
dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan
nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah
kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat
sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi
orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat
pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran
dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki
kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara
mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai.
Dalam
usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian
yang baik, proses panjang tersebut dibagi menjadi beberapa jenjang,
berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang
dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta
didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan
kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai
konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi
menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan
pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses
perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar
kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam
teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik,
kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang
harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai
kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada,
dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha
membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan
pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian
dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk
pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan
ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa
masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan
konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang
menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan
kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi
pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum
2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini
menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis
kompetensi termasuk mencakup metodologi pembelajaran.
Tanpa
metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang
diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan
dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui
mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta)
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah
konkret dan abstrak, sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi
semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan
sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan
kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para
peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.
Pemikiran
pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas
dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004
dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045.
Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat
Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum
Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum
sebelumnya.
Mengatakan
tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat.
Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi
kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA,
menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan
sampai dengan kelas VIII SMP.
Belum
lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU dan
praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran dan
tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran,
kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran,
dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta
didik kurang dilatih bernalar dan berfikir.